[Writer’s note] Ann

image

Hai. saya author disini, ini kali pertama saya menjadi author. Mohon dukungannya.

Author Ann.
Hobinya menulis, menonton.

Keseharianku hanya seperti gadis normal saja(?).

Semoga karyaku dapat di terima dengan baik disini. Terimakasih.

Love In Sketch (Ficlet)

image

Tittle : Love In Sketch

Author : Ann

[Seventeen] Woozi , Son Nami [OC]

General • Ficlet • Fluff, Romance

Summary :

“Ketika buku sketsaku tertinggal, disitulah benih-benih cinta tumbuh di hatiku.”










“Melukis Woozi lagi?” Ujar laki-laki tersebut duduk di samping Nami yang sedang asik menggambar di buku sketsa kesayangannya.

“Hm.” Nami berdeham pelan tak menggubris lebih lanjut pertanyaan dari sahabatnya, Wonwoo.

Son Nami. Wanita cantik yang senang berkutat dengan buku sketsa kesayangannya, wanita ramah yang menarik pandangan banyak kaum adam. Namun sayangnya, Nami tak menggubrisnya. Ia tidak pernah jatuh cinta pada siapapun, hanya satu pria yang ia tunggu, -Woozi dari Seventeen-

“Kenapa kau tak menyukai Lee Jihoon saja?” Wonwoo memberikan satu gelas moccachino kesukaan Nami. Melihat lukisan Woozi di buku sketsa Nami seraya tersenyum simpul. ‘Perfect’  pikirnya.

Nami menutup buku sketsanya, mengambil moccachino dari tangan Wonwoo, meminumnya sebelum ia bicara, “Dia aneh. Gila.  Hmm.. Tak ada lagi alasan untuk aku tak menyukainya.”

Wonwoo manggut-manggut tanda mengerti; namun ia juga mengerutkan alisnya, Bukankah Jihoon mirip sekali dengan Woozi? Kenapa ia tak menyukainya? Aneh.

“Kau jauh lebih aneh,” Wonwoo merapikan rambut Nami yang sedikit berantakan karena hembusan angin yang menerpa keduanya. “Banyak gadis menyukai Jihoon karena ia lucu, tampan. Namun kau tidak.” Wonwoo menyentil kening Nami yang sudah seperti ikan lohan. Yang disentil hanya memberikan tinju pelan di bahu Wonwoo. Wonwoo tersenyum tipis.

“Sudahlah, aku malas berdebat denganmu. Pria berkharisma namun dusta.” Nami meneguk habis moccachinonya, menjulurkan lidahnya kepada Wonwoo sebelum ia membereskan barang-barangnya dan beranjak pergi.

—————–

“Hey, Son!!” Teriak seseorang, Nami tentu tahu siapa yang memanggil dengan sebutan itu jika bukan makhluk aneh yang tidak tahu darimana asalnya. Nami memutar badannya malas menghadap pria itu.

“Apa, Jihoon?”

“Aku merindukanmu! Mari kita jalan-jalan.” Jihoon menarik lengan mungil itu menggandengnya dengan erat kemudian mengajaknya berjalan ke sebuah tempat. Seperti tempat yang indah, mungkin?

“Kau ini apa-apaan, sih?” Nami melepaskan tangannya dari Jihoon, menatap ngeri kepada Jihoon. Ia benar-benar tidak pernah bertemu manusia seperti Jihoon sebelumnya. Bagi Nami, Jihoon bukan lagi seorang manusia tapi sesosok makhluk aneh yang lebih aneh dari alien! Hm horror juga pemikiran Nami ini.

Jihoon hanya tertawa pelan, ia mulai menunjukkan ekspresi anehnya lagi di hadapan Nami membuat Nami memandangnya aneh lagi. Sepersekian detik kemudian, Jihoon tertawa. Ia mendekatkan wajahnya pada Nami, Nami mundur tetapi dirinya sudah terkunci oleh pergerakan Jihoon. Jihoon menatap manik mata Nami dengan serius. “Kau tahu? Aku menyukaimu.”

Nami tergagap, dia tahu itu. Bahkan satu sekolah pun tahu bahwa Jihoon menyukai Nami. Ia mendorong Jihoon sekuat tenaga dan menatapnya dengan tatapan tajam. “Aku tak menyukaimu.”

“Sampai kapan kau menanti si Woozi itu? Orang yang jelas-jelas tak kenal siapa dirimu.” Jihoon meledek, berjalan meninggalkan Nami yang terdiam menahan marah.

“Kau pikir kau siapa? Mengatur-ngatur perasaanku? Toh, aku menyukainya dengan tulus. Jika kau menyukaiku, maka aku mencintainya. Dasar bodoh. Berhentilah menyukaiku, karena aku tak akan berpaling kepadamu.” Nami mengatur nafasnya yang memburu. Marah karena ucapan yang keluar dari bibir Jihoon barusan untuknya.

—————

“Kau melukis apa?” Wonwoo tampak mengamat-amati lukisan yang sedang Nami lukis di buku sketsanya. Nami tak menjawab, ia menggores cat warna merah dengan banyaknya di buku sketsanya, dicampur dengan oranye yang banyak di sisi kanan dan bawahnya, serta hitam di setiap sudut buku sketsa tersebut.

“Tampak seperti kemarahan, kekesalan, dan kekecewaan?” Wonwoo tampak meneliti lukisan Nami, kemudian mengarahkan pandangannya kepada Nami. Dan benar saja, raut wajahnya terlihat marah dan kesal namun jauh di dalam bola mata indah milik Nami, ia kecewa.

“Kau bisa ceritakan apa yang sedang terjadi padaku, kawan.” Seperti biasa, Wonwoo memberikan satu kaleng moccachino kesukaan Nami. Nami menerimanya, meneguknya dan memejamkan matanya. Membukanya, kemudian ia merobek hasil lukisannya tadi dan membuangnya ke tong sampah yang ada di taman dekat sekolah tersebut.
Ia menarik nafas, kemudian ia keluarkan karbon dioksida tersebut.

“Kau tahu? Ia seperti bangunan yang sangat tinggi dan megah..” Nami menengadahkan kepalanya menatap awan yang sedang menari bersama burung-burung di langit, “dan aku hanyalah sebuah rumah kumuh di sebuah gang yang sempit.” Ia menghembuskan nafas dan menundukkan kepalanya menatap tanah.

“Kalau begitu, kau harus berusaha merubah rumah kumuh itu menjadi sebuah bangunan yang bernilai.” Wonwoo menepuk-nepuk pundak Nami sebelum pamit untuk pergi pulang ke rumah.

Nami menghela nafas panjang sebelum bangkit berdiri dan meraih tasnya, berjalan pulang ke tempat peristirahatannya.

————-

“Ini Woozi? Namun kenapa tampak seperti diriku? Aku tau aku dan Woozi terlihat sama. Namun, lukisan ini tampak seperti diriku bukan Woozi.” Jihoon nampak melihat-lihat beberapa lukisan di buku sketsa yang ia temukan di taman tadi sore. Halaman depan yang tertuliskan nama ‘Son Nami’ itulah yang menjadi alasan ia membawa pulang buku sketsa yang berlatar klasik tersebut.

Jihoon tersenyum, tersenyum karena lukisannya lebih menampakkan ‘Lee Jihoon’ dibandingkan Woozi dalam buku sketsa itu. Namun hatinya nyeri, karena yang dilukis Nami bukanlah dirinya.
Ia termenung, berkomunikasi dengan angin kosong yang menyapanya malam hari. “Bagaimana membuat dia menyukaiku?” Ia menghela nafas lagi karena angin tak menjawabnya, pun sinar rembulan yang menerangi tempat ia berpijak.

“Haruskah aku memberikan buku sketsa ini langsung? Atau meminta pertolongan kepada sebuah meja tempat ia duduk?” Ia menghela nafas kembali. Melihat-lihat kembali isi buku sketsa orang yang telah membuat hatinya berdebar, yang telah membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Aku mencintaimu. Bukan menyukaimu. Seharusnya kau menyadarinya? Namun mengapa kau tidak melakukan hal itu?” Ia berucap sebelum akhirnya ia memasuki alam mimpi, memimpikan sang pujaan hatinya akan mengerti perasaannya dan memberikan kesempatan untuk gadis tersebut mencintainya juga. Ia berharap ketika ia bangun apa yang ia inginkan menjadi nyata semuanya.

—————-

Nami panik, ia berjalan menuju ke kelas Wonwoo, sebuah ruangan yang juga ada Jihoon di dalamnya. Ia mendekatkan diri pada Wonwoo yang sedang memejamkan mata dengan earphone yang sedang terpasang di kedua telinganya. Ia melepas salah satunya, hingga membuat Wonwoo membuka matanya.

“Ada apa?” Wonwoo berkata pelan, tatapannya teduh menatap Nami yang sedang panik tak karuan.

“Kau melihat buku sketsaku?”

Disisi lain, Jihoon memperhatikan kedua sahabat tersebut. Ia ingin memberikan buku sketsa itu pada sang pemilik, namun ia belum siap. Hingga akhirnya satu tarikan nafas yang kuat, ia mengambil buku sketsa Nami dari dalam tasnya dan bangkit berdiri berjalan mendekati kedua orang tersebut.

“Ekhm. Nami.. Bisakah kau ikut denganku ke taman?” Jihoon nampak takut untuk menatap Nami langsung, namun tanpa ba-bi-bu lagi Nami menerima ajakan Jihoon.

Kini mereka sudah di taman, canggung menyelimuti Jihoon sedangkan panik sedang menemani Nami.

“Ingin bicara ap-”

Nami terbelalak, Jihoon menciumnya. Nami diam tak berkutik, Jihoon  melumat bibir cherry milik Nami. Hingga menit setelahnya ia melepaskan tautan bibirnya dari bibir Nami.

“Maaf, ini buku sketsamu. Kemarin tertinggal di taman dan aku menemukannya.” Jihoon memberikan buku sketsa itu kepada Nami lalu berlari meninggalkan Nami, Nami menerimanya dengan jantung yang masih berdetak dengan cepat. Ia masih belum percaya atas apa yang barusan terjadi. Jihoon menciumnya.

————

Nami tidak fokus, apa yang dijelaskan sang guru tidak dapat ia tangkap dengan baik. Ia sibuk dengan pikirannya serta kertas yang digenggamnya. Kertas itu adalah sepucuk surat dari Jihoon yang ia temukan di buku sketsanya tadi.

“Aku mencintaimu, Nami. Kenapa kau tak mengerti? Kau mungkin mengira aku menyukaimu karena kau cantik dan baik. Namun tidak bagiku, aku mencintaimu dengan segala kekuranganmu. Aku ingin menjadi payung yang melindungimu disaat hujan, aku ingin menjadi rumah tempat kau beristirahat, aku ingin menjadi sekolah tempat kau menuntut ilmu. Aku ingin menjadi seorang yang berdiri di pelaminan bersamamu. Woozi memang terlihat sempurna, tapi pandanglah aku yang selalu ada untukmu. Yang selalu mencintaimu, menopangmu ketika kau terjatuh, membantumu jika kau kesulitan. Hey girl, lihatlah lukisan yang kau lukis dibuku sketsamu. Bukankah itu terlihat seperti diriku? Izinkan aku untuk membuatmu mencintaiku sama seperti aku mencintaimu.

-Lee Jihoon.”

Ada perasaan berdebar ketika ia membaca isi suratnya, ia merasa benih-benih itu. Benih-benih yang selalu ia takutkan akan tumbuh di dalam hatinya. Ia ingin menjaga cintanya agar tetap tertuju pada sang idola, Woozi. Namun hatinya goyah. Badai yang ditunggunya datang, mengobrak-abrik hatinya. Menghancurkan dinding yang telah ia bangun 3 tahun lamanya.

“Pak, saya ingin ke toilet.”

Nami membuka loker Jihoon dan menaruh surat diloker tersebut. ‘Mencoba membuka hati untuk Jihoon, kenapa tidak?’  Pikir Nami. Ia tidak langsung berjalan ke kelas setelah menaruh surat di loker Jihoon, namun ia berjalan menuju atap gedung sekolah itu. Ia ingin memejamkan matanya walau hanya sesaat.

Nami terus memikirkan Jihoon, wajahnya, serta bibirnya yang menyentuh bibir Nami. Ia membuka matanya dan terkesiap. Nami memukul pelan kepalanya. Kesal dengan pikirannya yang mulai mengulang adegan yang terjadi di taman tadi pada saat Jihoon menciumnya. ‘Apa yang kau pikirkan Nami?’

———–

2 bulan berlalu dengan cepatnya, nampak Jihoon dan Nami semakin dekat. Nami memang ingin membuka hatinya untuk pria yang mencintainya. Karena ia pikir sia-sia memperjuangkan cinta untuk orang yang bahkan tidak tahu kau siapa.

“Jadi, bagaimana perasaanmu terhadap diriku?” Jihoon mengunyah makanan yang ia pesan sembari menatap Nami yang terdiam.

“Akan kucoba.” Selalu begitu, Nami akan menjawab begitu bila Jihoon menanyakan kalimat tersebut pada dirinya.

Jihoon mendesah pelan, secara tubuh mereka memang dekat. Namun hati Nami sulit untuk luluh pada Jihoon.

“Aku tahu tak semudah itu. Maafkan aku memaksamu untuk mencintaiku.” Jihoon berdiri meninggalkan Nami yang nampak terkejut, Nami berdiri. Berlari mengejar Jihoon, meraih tangannya dan menatapnya dalam. Jihoon menatapnya dingin. “Apalagi?”

Nami memeluknya, Jihoon terkesiap. Ia tak banyak tanya mengenai apa yang terjadi pada Nami, hanya membiarkan gadis itu melakukan apa yang ia ingin lakukan kepada Jihoon, pria yang mencintai gadis itu. “Aku berbohong tadi, aku telah membuka hatiku untukmu. Aku.. Mencintaimu, Hoon.”

Lewat bibir, Jihoon terdiam. Dalam hati, dia berteriak. Ingin rasanya ia sujud syukur saat itu juga pada Sang Penguasa bumi karena telah memberikan suatu keajaiban dalam hidupnya. Namun tak mungkin ia melakukannya di sekolah.

“Kamu milikku, Son.” Bisik Jihoon pelan.

“Aku milikmu, Jihoon Lee.”

Setelah itu, pelukan mereka kian mengerat. Senyum tak lepas dari keduanya. Tawa bahagia muncul dari keduanya. Hingga akhirnya sebuah kecupan mendarat di kening milik Nami, yang membuat pipinya merah merona.

Fin.